TULUNGAGUNG.LIPUTAN11.COM-Setiap tahun, tepatnya tanggal 25 November para guru mendapat kado ucapan selamat yang disertai kalimat- kalimat pujian bernuansa heroik. Terasa indah dan penuh khasiat laksana buah Delima.
Bila didengar sekilas, Kalimat-kalimat yang menyertai ucapan selamat tersebut adalah kalimat yang sebenarnya sangat klasik dan hanya bersifat rutinitas, sebagaimana klasiknya problem nasib guru non PNS/ASN.
Disadari atau tidak, dunia pendidikan kita masih menemui banyak problem yang belum menemukan solusi yang tepat, baik sistem kurikulum, sarana prasarana, keuangan, serta tenaga pendidik dan kependidikan.
Tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, masih terdapat beberapa persoalan yang sampai saat ini belum menemukan jalan keluar sebagai penyelesaian. Sebagai contoh, di kabupaten Tulungagung yang mengalami kekurangan tidak kurang dari 3000 guru. Dan lebih dari 1.000 diantaranya berusia 35 tahun/lebih, yang jelas tidak mungkin diangkat menjadi PNS karena faktor usia.
Sementara quota CPNS dari tahun ke tahun hanya berkisar antara 150 sampai 200 orang. Sangat jauh bila untuk memenuhi kebutuhan kelas yang kekurangan guru tersebut, belum termasuk guru mapel, operator sekolah dan tenaga kependidikan lainnya. Rata rata dari mereka adalah guru non PNS dengan menghasilan yang sangat jauh dari standart kelayakan bahkan jauh dibawah UMK. Rata rata guru non PNS hanya mendapatkan Honor antara Rp 150.000 sampai dengan Rp 400.000 perbulan.
Adanya program sertifkikasi dan inpassing guru, sangatlah membantu dalam pemenuhan kebutuhan guru. Setidaknya untuk menekan syahwat menjadi PNS/ASN bagi guru non PNS/ASN, dengan tunjangan profesi yang nilanya cukup layak. Namun pelaksanaan program ini juga menuai problem bagi guru Non PNS pada sekolah negeri dalam lingkup Disdikpora. Yang mana salah satu syarat untuk bisa mengikuti program sertifikasi guru non PNS adalah memiliki SK sebagai guru honorer yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota setempat.
Sementara, para bupati/wali kota tidak bisa menerbitakan SK Honorer karena terbentur oleh PP 48 th. 2005, PP.43 tahun 2007, dan PP no.56 tahun 2012 yang berisi larang mengangkat Tenaga Honorer setelah tahun 2005 yang kemudian dipertegas dengan SE Mendagri no.814.1/169/5 J tanggal 10 Januari 2013. Wal hasil, Guru Non PNS tidak bisa mengikuti program tersebut karena tidak memiliki SK Bupati.
Memang ada insentif untuk guru non PNS dari Pemerintah Kabupaten, yaitu sebesar Rp 350.000 perbulan, namun hanya mampu diberikan kepada 1.700 guru swasta disekolah negeri dalam lingkup Disdikpora. Hal itu setelah melalui hearing dengan pihak terkait berkali-kali.
Pada tahun 2020 Insentif Guru Non PNS sebesar Rp 250.000, dengan kuota penerima 1600 orang. Jumlah penerima tersebut sangat jauh dari jumlah guru yang ada, dan nominalnya juga masih jauh dari UMK.
Sementara itu, dari guru swasta yang berada dalam lingkup Kementerian Agama, juga masih menemui problem terkait program sertifikasi dan inpasing. Yaitu masih banyak guru swasta yang belum mengikuti sertifikasi, dan guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik masih banyak juga yang belum diinpassing.
Guru yang sudah inpassingpun mengalami beberapa persoalan. Yaitu : Pertama, besaran tunjangan inpassing yang stagnan, karena didasarkan pada masa kerja nol tahun, sementara guru inpassing dilingkup disdikpora besar tunjangan sudah mengikuti lamanya masa kerja. Kedua, terkait sistem kenaikan pangkat guru inpassing yang sampai saat ini juga belum jelas mekanismenya. Ketiga, adanya tunjangan profesi yang belum terbayarkan untuk tahun 2018, ada yang kurang 1 bulan, ada yang kurang dua bulan. Keempat, Guru yang menerima SK inpasing, tunjangan yang diterima hanya mulai tahun 2015, artinya Tunjangan Inpassing mulai 2011 sampai dengan 2014 hanya menerima tunjangan profesi yaitu sebesar Rp 1.500.000,- artinya, tunjangan belum disesuaikan pangkat/golongan sesuai SK.
Tahun 2021 telah dilaksanakan program PPPK, namun dilingkup kemenag hanya diperuntukkan kepada guru eks Honorer K2.
Lagi-lagi, dari semua persoalan yang menyangkut kesejahteraan guru, yang
menjadi alasan adalah persoalan anggaran dan payung hukum. Dan seakan akan, benturan itu adalah benturan mutlak yang memaksa para guru untuk diam, dan menjadi sebuah dilema antara tetap menjadi pendidik atau harus meninggalkan profesi tersebut.
Mungkin, ada yang berpandangan seakan guru swasta mengalami nasib seperti itu karena salahnya sendiri, karena mereka menjadi guru atas kehendak sendiri, padahal pemerintah tidak ada rekrutmen guru. Tapi saya yakin, pihak pemangku dan penentu kebijakan tahu dan faham betul bahwa kondisi riil dilapangan terdapat kekurangan guru dan tenaga kependidikan dalam jumlah besar.
Banyaknya sekolah yang merekrut guru swasta juga pastinya diketahui, dan saya juga yakin bahwa itu akan berdampak pada persoalan pemenuhan hak yaitu terkait pemberian gaji, upah, isnentif atau istilah lainnya.
Kalau mereka dianggap guru ilegal, padahal mereka sudah menjalani fungsi dan tugas sebagai pendidik dan pengajar bertahun-tahun, maka bisa dikatakan nilai raport, bahkan nilai ijazah dari para siswa mereka juga ilegal, karena diajar oleh guru ilegal. Bisa diibaratkan bagaimana bisa sholatnya sah, kalau wudlunya tidak sah. Dan bagaimana bisa menafikan jerih payah mereka yang bertahun-tahun, karena mereka menuntut perhatian menyangkut kesejahteraan.
Ada pula yang berpandangan bahwa menjadi guru harus ihlas. Sebuah pendapat yang tidak proporsional menurut saya. Secara keilmuan saya yakin para guru sangat ihlas, karena mereka tidak pernah memasang bandrol untuk tiap tatap muka, apa lagi setiap ayat atau setiap satu teori ilmu yang diberikan keapada para siswa. Namun harus kita pahami, bahwa sekalipun guru swasta, mereka memiliki kewajiban dan pengorbanan yang tidak jauh beda dengan guru PNS, baik itu berupa tenaga, waktu, biaya perjalanan, dan bahkan kewajiban administrasi pembelajaran.
Tapi bagaimanapun, pada kenyataannya kita kekurangan guru, itu adalah problem dunia pendidikan.
Adanya guru swasta sangat membantu proses pembelajaran dan pendidikan anak-anak kita. Jadi sangat tidak proporsional jika kita mengakui peran dan jerih payah mereka, sementara kita mengabaikan kesejahteraan bagi mereka. Karena, kendaraan mereka tidak bisa jalan hanya dengan ucapan terimakasih, perut mereka dan keluarga mereka tidak bisa kenyang hanya dengan sebutan pahlawan tanpa tanda jasa. Rekening PLN juga tidak mau jika dibayar dengan lembaran RPP atau LKS bekas.
Dan juga terkait tunjangan Sertifikasi dan inpassing, harus dipahami bahwa itu merupakan program dari pemerintah disertai dengan regulasi yang jelas. Artinya itu menjadi sebuah janji dilontarkan kepada guru. Jadi para guru swasta tersebut kurang tepat jika dikatakan menuntut, tapi lebih tepat dikatakan bahwa mereka menagih janji. Dan ini harus menjadi perhatian kepada semua pihak, utamanya pemerintah yang telah mengeluarkan regulasi. Jangan sampai ini menjadi sebuah kecelakaan kebijakan berpengaruh negatif terhadap dunia pendidikan kita.
Penulis :
Nur Qomarudin, S.Pd.I
Praktisi pendidikan dan Pengurus Besar Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) bidang Hukum dan Advokasi