Yogyakarta 13,4,21:
Tidak banyak yang mengetahui tanggal 14 juni adalah Hari purbakala Nasional. Sejarah membuktikan, 107 tahun lalu (14 juni 1913), seorang berkewarganegaraan Jerman, JE.Rumphius, menginisiasi berdirinya Lembaga Penelitian kepurbakalaan (Bataviaach Genootschaap van Kynsten en Wetenschappen).
Selain menjadi Hari Purbakala Nasional, banyak penggiat kebudayaan mengharapkan menjadi Hari Kebudayaan Nasional yang memiliki pengertian yang luas, dan akan menunjukkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Masa depan tidak akan ada kalau tidak ada masa lalu, dalam hal ini kebudayaan purba, lalu muncul semangat yaitu Purbamileniakala.

Sebagai contoh, pada kunjungan ke Candi Prambanan, di sana di jelaskan adanya simbol-simbol yang mengandung filosofi masa lalu yang di bawa oleh agama Hindu. Bahwasannya dalam
penganut Hindu dibagi menjadi 4 kasta (Brahmana, Ksatria, Waisha dan Sudra). Pembagian ini berdasarkan garis keturunan yang akan sulit kalau mau lintas kasta. Sampai kapanpun golongan Sudra yg berisikan pekerja kasar (tukang batu,kayu,las,pande besi) tidak akan bisa pindah ke golongan Waisha yang berisikan kaum pedagang, pegawai rendah kerajaan. Begitu juga kaum Waisha tidak akan bisa pindah ke kelompok KSatria yang berisikan pegawai tinggi kerajaan, komandan perang. Dan golongan Ksatria juga tidak bisa naik ke kelas Brahmana yang berisikan keluarga Raja, pemuka agama. Kalau turun kasta juga malu. Kasta hanya untuk pembagian pekerjaan saja, tidak akan ada kalau tidak ada Sudra,Waisha,ksatria, begitu juga sebaliknya.
Timbul pertanyaan, Apakah Kasta masih ada saat ini ??, Tentu tidak. Ini akan timbul masalah HAM.
Hal kepurbakalaan tidak menambatkan kita pada romantisme masa lalu, tetapi kita harus berpikir kritis dan realistik. Kita sebaiknya berpikir ke kinian, fan visioner kalau tidak mau ketinggalan dengan bangsa lain. Pembagian kasta memang tidak ada sekarang ini, tetapi bisa kita lihat dari cara bicara dan bahasa yang di pakai. Mungkin Brahmana bicaranya dan tutur bahasanya halus, beda dengan Sudra yang kasar bahasanya.
Agak sulit menggolongkan kelompok Waisha dan kesatria, kita bisa melihat dari pekerjaannya bisa terjadi lintas kasta. Contoh ; Orang Sudra yang mau rajin belajar sampai perguruan tinggi bisa mendapatkan sebagai pegawai tinggi di Pemerintahan / Kerajaannya. Hal tersebut tentunya masih banyak yang belum di singkap pada Candi yang ada di Prambanan complek.
Menurut Penulis, sejarah masa silam merupakan Energi Nasionalisme kita yang senantiasa mengaitkan ingatan kolektif kita dengan jaman keemasan di masa silam. Disinilah bisa kita tarik benang merah antara kepurbakalaan, Budaya, dan Kebangsaan.
Dengan adanya candi Sambisari, Kendulan, Prambanan, Plaosan, dan Bokoharjo, yang masih kokoh berdiri meskipun melewati ujian waktu, merupakan bunga rampai pelestarian kebudayaan dan kepurbakalaan. Kita sudah memiliki energi untuk memperteguh dan membangun masa depan Bangsa Indonesia secara berkelanjutan hingga Tuhan menghentikan langkah kita.
Penulis : Agus Susanto,
Anggota DPD HPI (Himpunan Pramuwisata Indonesia ) Yogyakarta.