YOGYAKARTA.Liputan11.com-Setahun lebih dunia pariwisata mengalami masa yang kelam di tengah Pandemi Covid-19 yang sampai saat ini belum usai. Namun demikian harapan bangkit dari keterpurukan tersebut tetap menyala dari pelaku-pelaku pariwisata di Yogyakarta, utamanya di lingkup Keraton Yogyakarta.
Seperti yang di sampaikan salah satu Guide yang juga merupakan abdi dalem Keraton Yogyakarta, Danarkaloka, saat di wawancarai Liputan11.com. Selasa, (27/4/2021).
Dalam kesempatan tersebut Danarkaloka, banyak berbagi kisah dan pengetahuan tentang pemerintahan Kasultanan Yogyakarta pada zaman dahulu.
Menurut yang di kisahkan Danarkaloka,
Kasultanan Yogyakarta merupakan kerajaan yang meneruskan kerajaan Mataram Islam yang berdiri berdasarkan perjanjian Giyanti tahun 1755. Kerajaan Mataram Islam terbagi menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
“Mulai saat itu Kasultanan Yogyakarta meneruskan apa yang sudah dilakukan kerajaan Mataram sebelumnya,” tuturnya.
Lebih lanjut di sampaikan Danarkaloka, salah satu ciri utama pada Kasultanan Yogyakarta adalah keberadaan Patih atau yang lebih dikenal dengan Pepatih Dalem, yang merupakan jabatan setingkat perdana menteri yang berkedudukan di wilayah Kepatihan.
Berbeda dengan masa sekarang, pada masa kolonial dulu sebelum di kukuhkan menjadi raja, Sultan harus menandatangani kontrak politik dengan pihak pemerintah kolonial, yang mana salah satu bagian kontrak politik tersebut diantaranya mengatur keberadaan Patih. Pada masa kolonial, keberadaan Patih selain sebagai pembantu sultan juga berperan sebagai penghubung antara kesultanan dengan pihak pemerintah kolonial.
“Berdasarkan isi surat Perjanjian Giyanti, pemerintahan kesultanan Ngayogyakarta telah menandatangani kontrak politik dengan Pemerintah kolonial Belanda atau Oost Indische Compagnie yang harus selalu membantu kegiatan pemerintah kolonial di daerah Jawa,” tutur Danarkaloka.
Ia juga menjelaskan, di bawah kepemimpinan Kanjeng
Sultan dan dibantu oleh Pepatih Dalem (rijksbestuurder) segala
kebijaksanaan pemerintahan dibebankan di pundak Pepatih Dalem, yakni Patih Danuredjo I yang sebelumnya menjabat Bupati Banyumas dengan nama Raden Tumenggung Yudonegoro,” tuturnya.
Menurut beberapa catatan dari Hartiningsih dalam Dag Regester dilukiskan bahwa, pribadi Patih Danurejo I yang mendampingi Sultan secara umum ibarat keris dan warongko yang bersatu memimpin pemerintahan Kesultanan Yogyakarta.
Danarkaloka juga menjelaskan bahwa, secara garis besar susunan pemerintahan kesultanan di
bawah Pepatih Dalem pertama adalah Bupati Patih Kepatihan, sebagai Sekretaris Satu.
– Sekretaris Kedua. Bupati pemerintah
– Sekretaris Ketiga, bupati yang memerintah kebupatian-kebupatian
di wilayah Kesultanan Yogyakarta
Sekretaris Empat, di bawah bupati
ada jabatan Wedana yang secara administratif membawahi Kawedanaan-Kawedanaan dan di bawah Kawedanaan ada jabatan Penewu yang memimpin Kapenewuan-Kapenewuan dan akhirnya adalah Lurah yang memimpin Kelurahan” papar Danar.
Setelah Geger Spei, Kesultanan Yogyakarta terbagi menjadi daerah pemerintahan Pakualaman dan Kasultanan. Adapun batas-batas daerah administratif keduanya, dibatasi oleh Sungai Code.
“Bagian barat sungai merupakan daerah Kasultanan, sedangkan daerah timur
sungai merupakan daerah Pakualaman,” jelasnya.
Susunan pemerintahan di Pakualaman adalah : Kanjeng Gusti Pakualam sebagai penguasa Kadipaten Pakualaman dibantu oleh Bupati Patih yang merangkap sebagai sekretaris dengan asisten Wedana kota.
Di bawahnya lagi ada pimpinan kebupatian Adikarto dan di
bawah Adikarto ada Kapenewuan-Kapenewuan, dan di bawah
Kapanewuan ada Kelurahan-Kelurahan.
Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang
fungsi Pepatih Dalem di hapuskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Penghapusan tersebut untuk mencegah
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti pada masa sebelumnya.
Seperti telah diketahui posisi Kesultanan Yogyakarta yang diatur dalam politik kontrak oleh Pemerintahan
Hindia Belanda, dimana Pepatih Dalem ini harus bersumpah akan membantu Belanda jika terjadi konflik antar Raja/Sultan. Maka Pada bulan April 1945 Kawedanaan yang ada di lingkungan pemerintahan Kasultanan dihapuskan.
“Setelah itu maka dibentuk Paniradyapati yang beranggotakan enam
orang. Keenam orang ini memimpin bagian Kesekretariatan atau
yang disebut sebagai Sanapanitra, bidang pendidikan atau Wiyotoprojo, bagian perencanaan penerangan atau Pacana. Pancawarsa, bagian jawatan pemerintahan umum disebut
Ayahan Umum, dan bagian ekonomi serta Yayasan Umum,” ungkapnya.
Akibat kosongnya jabatan Pepatih Dalem, Sultan dibantu oleh Utaradyapati yang membawahi Urusan
Pegawai, Pemeriksa Keuangan dan Pengadilan Daerah Dalem
atau Sridarmayukti.
Sementara menurut sumber dari inventarisasi arsip Kemendibud, Pada masa Republik, Pernyataan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Pakualam VIII pada 5 September 1945 ( Maklumat ) menjadikan Kota Yogyakarta, utuh tanpa pembagian daerah barat dan timur sungai.
Maklumat Daerah Istimewa Yogyakarta · Nomor 18 tentang
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) di Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikeluarkan pada 18 Mei 1946 sebenarnya berawal dari pokok peraturan maklumat Nomor 7 yang dikeluarkan 6 Desember 1945 .
Kota Yogyakarta yang terdiri atas daerah Kasultanan dan Pakualaman menjadi kotapraja yang bersifat otonom sejak keluarnya Undang-undang No. 17 tahun 1947. Disebut juga sebagai haminte Kota Yogyakarta dan berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Penyerahan wewenang secara nyata dari Daerah Istimewa Yogyakarta baru dapat dilaksanakan dalam tahun 1951, karena terjadinya Agresi Belanda I dan Agresi Belanda II.
Beberapa hal sebagai perubahan kota atas susunan pemerintahannya adalah sebagai berikut:
Kota Yogyakarta
menjadi kota yang otonom dengan hadirnya Dewan Perwakilan
Rakyat Haminte Kota, Dewan Pemerintahan Kota dan Walikota Kotapraja Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang Pokok No.22 tahun I948 ditetapkan sebagai daerah tingkat II
yang menjadi bagian dari Daerah Istimewa Yogyakara.
Penulis : Agus Susanto.