LIPUTAN11.COM-Kata Punakawan berasal dari kata Pana yang berarti “mengerti”, dan Kawan yang berarti “teman”. Implikasinya, para Punakawan bukan hanya abdi/pembantu, tetapi juga bisa memahami apa yang sedang dialami tuannya.
Terkadang punakawan juga menjadi penasehat para ksatria yang jadi majikannya. Ciri khas punakawan sering dijumpai pada lelucon di tengah cerita pewayangan. Tingkah dan kata-kata penonton pasti membuat penonton tertawa dan terhibur.
Dalam Wayang Purwa, punakawan yang digunakan di Gagrag Ngayogyakarta dan Surakarta adalah Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Terkadang, dhalang Surakarta menolak menggunakan Bagong dan menggantinya dengan Cenguris yang sering digunakan pada masa Kesultanan Pajang.
Hilangnya tokoh Bagong diasosiasikan dengan zaman Paku Buwana III (1749-1788) yang cuek dengan perilakunya. Bagong sering digunakan dhalang untuk mengkritik apa yang sedang terjadi.
Namun seiring berjalannya waktu, para tokoh Punakawan yang tetap digunakan dalam lakon pewayangan hingga saat ini tetap Semar, Gareng, Petruk, Bagong tanpa ada perubahan.
Selain itu, ada juga Togog dan Bilung (Sarawita) yang merupakan pengikut tokoh antagonis, atau musuh dari negara seberang dan Kurawa. Sedangkan pengasuh kerajaan yang mengikuti para putri adalah Cangik dan Limbuk.
Dalam Gagrag Jawa Wetan, Perangan Wetan atau Wayang Jekdong, ada juga dhalang yang tidak menggunakan Gareng dan Petruk. Di sini Bagong juga diganti dengan Besut yang bentuknya mirip Bagong tapi lebih kecil. Berbeda dengan Bagong yang terdiri dari bayangan Semar, Besut terbuat dari taine Semar. Besut juga kadang disebut Besep atau Besil.
Di Gagrag Banyumas, Bagong disebut Bawor. Di sini, Bagong bukan anak bungsu tapi sulung.
Di Jawa Barat, khususnya dalam wayang golek, punakawan yang digunakan adalah Cepot atau Astrajingga. Cepot adalah yang pertama. Seperti Bagong, Cepot juga digunakan sebagai alat kritik. Selain Cepot, ada juga Udawala dan Udel yang lengkap.
Di daerah Cirebon dan Kuningan, tempat yang dianggap sebagai pusat penyebaran agama Islam, terdapat sembilan panakawane, yaitu: Semar, Udawala, Gareng, Bagong (Bawor), Bitarota, Ceblok, Cungkring, Bagalbuntung, Curis . Angka sembilan dianggap sebagai simbol Sanga Guardian.
Di Betawi, punakawan memiliki konsesi. Dari adat, Betawi dekat dengan bahasa Sunda. Tapi ada kalanya ketakutannya bercampur aduk. Ada Cepot yang bisa menyanyikan lagu-lagu Sunda, dan ada Gareng yang menyanyikan lagu-lagu Jawa.
Dalam Carita Panji, punakawannya adalah: Jurudeh dan Prasanta, Bancak dan Dhoyok, Sabdapalon dan Nayagenggong, Sebul dan Palet atau Penthul dan Tembem. Jurudeh, Bancak, dan Sabdapalon adalah titisan Sang Hyang Ismaya.
Di daerah Banjar, Kalimantan Selatan yang telah dipengaruhi oleh budaya Jawa, wayang Banjar juga memiliki empat punakawan yaitu: Semar, Lak Garing (Gareng) atau Parcumakira, Pitruk (Petruk) atau Gali Parjuna alias Jambulita, dan Bagung (Bagong). ).
Dalam Wayang Bali, punakawan yang digunakan adalah Tualen (Semar) dan Merdah abdi dari Pandawa, Sangut dan Delem abdi dari Kurawa. Karakter badut ini adalah penasihat ksatria, penghibur, kritikus sosial, badut serta pusat kebenaran dan kebijakan.(*)