JOMBANG, Liputan11com. – Polemik dugaan pengambilalihan aset Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jombang berupa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Pemkab Jombang kembali menjadi sorotan tajam. Setelah pengurus Yayasan Pemberdayaan Keluarga Besar Jombang (YPKBJ) yang menaungi STIKES memberikan klarifikasi di berbagai media, kini muncul tanggapan keras dari Ketua Lembaga Bantuan Hak Asasi Manusia (LBHAM) Jombang, Faizuddin FM.
Faizuddin menilai pernyataan pengurus yayasan yang berupaya menepis isu privatisasi aset Pemkab justru kontraproduktif. Bukannya memperjelas duduk perkara, klarifikasi itu dinilainya semakin memperkuat dugaan adanya skenario sistematis untuk menguasai aset daerah melalui jalur administratif.
“Pernyataan pengurus yayasan itu sangat ambigu, tidak konsisten, dan bahkan blunder. Mereka seperti tidak memahami posisi hukum aset yang menjadi milik daerah. Jawaban mereka justru meneguhkan dugaan adanya upaya sistematis penguasaan aset Pemkab oleh kelompok tertentu,” ujar Faizuddin, Rabu (29/10/2025).
Menurut Faizuddin, blunder pertama terletak pada klaim pengurus yayasan yang menegaskan bahwa aset STIKES sudah sepenuhnya milik yayasan sesuai ketentuan Undang-Undang Yayasan. Namun, di saat bersamaan, mereka masih mengaku ada representasi Pemkab di dalam struktur organisasi, yakni dua pejabat aktif, Kepala Bappeda Danang dan Kepala DPKAD Nasrulloh.
“Ini jelas kontradiktif. Kalau memang aset sudah menjadi milik yayasan dan bukan lagi milik Pemkab, mengapa masih mengklaim adanya perwakilan pemerintah daerah di dalamnya? Di sinilah letak ambiguitasnya. Dalam hukum administrasi, ambiguitas seperti ini berpotensi dimanfaatkan untuk menutupi praktik penyimpangan dan menyamarkan kepemilikan,” tegasnya.
Faizuddin menjelaskan, setiap lembaga yang masih mencantumkan pejabat pemerintah aktif di dalam struktur organisasinya wajib memiliki dasar hukum yang jelas berupa surat penugasan resmi dari kepala daerah. Tanpa surat tersebut, keberadaan ASN di lembaga non-pemerintah dinilai ilegal dan melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
“Pertanyaannya, apakah pengurus yayasan punya surat resmi dari Bupati tentang penugasan dua pejabat itu? Kalau tidak ada, berarti status mereka ilegal. Apalagi posisi itu bukan ad hoc, tapi struktural. Setiap bupati baru harus memberikan izin baru jika ingin menempatkan pejabat aktif di luar struktur pemerintahan,” tegasnya.
Ia menambahkan, tindakan itu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antara tugas sebagai ASN dengan kepentingan pribadi atau lembaga di luar pemerintahan. “Inilah celah hukum yang sering disalahgunakan. Ketika pejabat aktif duduk di yayasan yang mengelola aset daerah, maka netralitas birokrasi bisa hilang dan fungsi pengawasan menjadi tumpul,” katanya.
Blunder kedua, lanjut Faizuddin, terletak pada pernyataan pengurus yayasan yang menyebut pihaknya selama ini telah menyewa aset milik Pemkab Jombang. Menurutnya, pernyataan itu justru menegasikan sejarah berdirinya STIKES Pemkab yang sejak awal merupakan bagian dari upaya Pemkab meningkatkan kualitas pendidikan kesehatan di daerah.
“Kalau memang benar disewa, kapan kontrak sewa itu dibuat? Siapa yang menandatangani? Berapa nilai sewanya dan ke mana uang itu disetorkan? Apakah tercatat di kas daerah? Semua itu harus jelas. Kalau tidak ada bukti yang sah, maka pernyataan itu bisa berimplikasi pidana karena ada unsur pemanfaatan aset negara tanpa dasar hukum,” ujar Faizuddin.
Ia menegaskan, jika aset tersebut pernah digunakan oleh Pemkab untuk kepentingan pendidikan publik, maka statusnya tetap sebagai Barang Milik Daerah (BMD) yang tidak boleh dialihkan tanpa mekanisme penghapusan atau hibah yang sah.
“Ini bukan persoalan sederhana. Jika benar ada aset daerah yang kini berubah kepemilikan tanpa prosedur hukum, maka bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi atau penggelapan aset negara. Apalagi kalau dalam prosesnya ada manipulasi dokumen atau pemalsuan akta yayasan,” tambahnya.
Faizuddin mendesak agar aparat penegak hukum (APH), termasuk Kejaksaan Negeri dan Kepolisian, segera turun tangan melakukan penyelidikan. Ia juga mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit total terhadap aset dan keuangan STIKES Pemkab Jombang sejak berdirinya pada tahun 2006 hingga 2025.
“Sebagian kekayaan yayasan itu berasal dari fasilitas dan bantuan negara. Karena itu, wajib dilakukan audit menyeluruh oleh BPK, APH, dan akuntan publik independen. Jangan sampai ada dana publik yang diselewengkan di balik nama yayasan,” tegasnya.
Dalam catatan LBHAM Jombang, sejak awal berdiri, kepengurusan Yayasan STIKES Pemkab Jombang memang banyak diisi oleh pejabat aktif Pemkab Jombang. Praktik ini berlangsung hingga tahun 2022. Setelah sejumlah pejabat pensiun, beberapa di antaranya masih tercatat dalam struktur yayasan, padahal secara hukum tidak lagi memiliki keterikatan dengan pemerintah daerah.
“Ini menyalahi prinsip tata kelola yang baik. Seharusnya setelah purna tugas, mereka tidak lagi memiliki kewenangan di dalam yayasan yang dibiayai dan didirikan atas inisiatif Pemkab. Kalau tetap dipertahankan, bisa jadi ini adalah upaya mempertahankan kendali secara pribadi atas aset publik,” jelasnya.
Lebih jauh, Faizuddin menilai bahwa kondisi ini merupakan cerminan lemahnya pengawasan pemerintah daerah terhadap aset-aset yang dikelola secara kelembagaan. Ia menegaskan pentingnya reformasi tata kelola aset publik agar kasus serupa tidak terulang di kemudian hari.
“Kasus STIKES Pemkab ini harus menjadi pintu masuk pembenahan sistem pengelolaan aset di Jombang. Pemerintah tidak boleh diam. DPRD juga harus segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mengusut persoalan ini secara politik dan administratif,” ujarnya.
Menurutnya, kasus seperti ini tidak hanya menyangkut kepemilikan aset, tetapi juga menyentuh persoalan moral dan integritas pejabat publik. “Ambiguitas, manipulasi hukum, dan penyalahgunaan jabatan adalah bentuk korupsi gaya baru yang harus diberantas. Jangan tunggu sampai aset benar-benar berpindah tangan baru bertindak,” pungkas Faizuddin.(lil) Bersambung..




