TULUNGAGUNG.LIPUTAN11.COM-Dinas Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( Dinas KBPP dan PA) Kabupaten Tulungagung pada Bulan Oktober dan Nopember 2021, Melakukan Serangkaian Kegiatan Edukasi Pengasuhan 1000 HPK dengan sasaran Ibu balita dan Pemahaman Kespro dan Stunting dengan sasaran Remaja dan Calon Pengantin, pada 10 Desa yang merupakan Lokhus Stunting.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi dibawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir, akan tetapi kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun.
Hal itu disampaikan Kepala Dinas KBPP dan PA Tulungagung, Suparni melalui Sriyono selaku Kasi pembinaan kesertaan ber-keluarga berencana kepada Liputan11.com pada Jumat (12/11/2021) siang.
Lebih lanjut Sriyono mengatakan, Sebagian besar masyarakat mungkin belum memahami istilah yang disebut stunting.
“Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya,” tuturnya.
Lanjutnya menyampaikan, berdasarkan sumber berita acara Kesepakatan Hasil Rembuk Stunting Kabupaten Tulungagung ada Sepuluh Desa Lokhus Stunting dengan prevalinsi stunting dan jumlah balita stunting (kasus) adalah sebagai berikut :
Untuk Prosentase Prevalensi Stunting
Desa Pakel sebanyak 64, Desa Sambijajar 30, Desa Bangun Mulyo 40, Desa Gondosuli 30, Desa Mirigambar 24, Desa Gondang 27, Desa Tunggulsari 60, Desa Tamban 33, Desa Pucung 27, Desa Macanbang 17 persen.
Sedangkan jumlah balita stunting (kasus), di desa Pakel ada 32,99%, Desa Sambijajar 24,19%, Desa Bangun Mulyo 21,86%, Desa Gondosuli 20,55%, Desa Mirigambar 20,51%, Desa Gondang 20,45%, Desa Tunggulsari 17,75%, Desa Tamban 17,65%, Desa Pucung 16,56%, Desa Macanbang 13,93%.
Lebih lanjut, Siyono juga menjelaskan tentang Kespro. “Kespro merupakan awal dari pembangunan keluarga berkualitas. Termasuk di dalamnya pencegahan anak tumbuh pendek dan kerdil atau stunting,” jelasnya.
Salah satu cara yang cukup mudah diterima adalah dengan menyampaikan risiko-risiko kesehatan reproduksi.
“Dalam kegiatan ini kita memberikan tiga gambaran yang bisa memudahkan masyarakat menyerap informasi kespro ini,” imbuhnya.
Pertama, kaitannya kespro dengan penundaan usia kawin bagi remaja. Lebih dari sekadar kesiapan ekonomi, pernikahan berkaitan erat dengan kematangan organ-organ reproduksi. Kematangan ini berhubungan dengan kesehatan calon ibu dan bayi ketika kelak melahirkan.
Kedua, pernikahan muda juga sangat berisiko terjadinya kanker mulut rahim atau kanker serviks. Hal ini terjadi akibat hubungan seksual terlalu dini. Mulut rahim perempuan usia kurang dari 18 tahun masih pada fase ektropion alias proses termuka menuju matang. Inilah yang kemudian memicu kanker mulut rahim pada 15-20 tahun.
Ketiga, persalinan usia kurang dari 20 tahun berkaitan erat dengan stunting. Pendarahan dan kecatatan pada kepala bayi sangat berisiko melahirkan bayi stunting. Kepala bayi yang mengecil dengan sendirinya mempersempit volume otak dan menganggu pertumbuhan organ lain secara optimal. Karena itu, Suatu upaya pencegahan stunting terbaik adalah melalui pendewasaan usia perkawinan.
Usia 21-25 tahun sangat efektif untuk mencegah stunting. Remaja kita dorong untuk menikah pada usia ideal, 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Ini sangat sejalan dengan konsep pencegahan stunting yang diajukan BKKBN kepada Bapak Presiden.
Lanjutnya, mengutip penjelasan Kepala BKKBN Hasto Wardotyo belum lama ini, bahwa stunting tidak bisa dilepaskan dari dimensi kesehatan lainnya.
“Penyebab stunting bisa diklasifikasi dengan melihat penyebab langsung, penyebab antara (intermediate), dan penyebab tidak langsung,” tuturnya.
Sedangkan penyebab langsung meliputi nutrisi, air susu ibu (ASI), dan penyakit. Penyebab antara meliputi jarak anak, jumlah anak, dan umur ibu. Adapun penyebab tidak langsung meliputi sanitasi, pendidikan, sosial-ekonomi, dan kemiskinan.
Dengan sudah dilaksanakan serangkaian kegiatan tersebut, Sriyono berharap nantinya dapat meningkatkan pengertian dan pemahaman bagi Bumil akan pentingnya 1000 HPK, Meningkatkan pemahanan kebutuhan gizi bagi ibu hamil, serta percepatan Penurunan Stunting.
“Sedangkan untuk Kespro dan Stunting diharapkan kedepan mampu meningkatkan pemahaman akan pentingnya kesehatan reproduksi bagi calon pengantin/remaja, Menyiapkan catin menuju jenjang pernikahan terkait reproduksi sehat, Meningkatkan pemahaman terkait IMS bagi catin dan remaja, Percepatan penurunan stunting,” tandasnya.(*pryn)