Direktur Firma Hukum SSA Al-Wahid Jombang Syarahuddin.
JOMBANG,Liputan11.com – Rencana mutasi jabatan di lingkungan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jombang mendadak jadi buah bibir. Bukan tanpa alasan, beredarnya data internal yang berisi daftar pejabat serta catatan politik yang melekat di dalamnya memicu kecurigaan publik akan adanya praktik birokrasi yang tidak sehat.
Dalam dokumen yang beredar, sejumlah nama pejabat, termasuk direktur RSUD, disebut-sebut diberi tanda khusus seperti “orang bupati sebelumnya” dan digantikan oleh pihak yang dianggap dekat dengan bupati terpilih hasil Pilkada. Bocornya data sensitif ini sontak menimbulkan pertanyaan besar: apakah mutasi yang akan dilakukan murni berdasarkan kinerja, atau justru dikendalikan kepentingan politik?
Praktisi hukum sekaligus pengamat kebijakan publik Jombang, Syarahuddin, menyebut kebocoran ini sebagai bukti adanya kejanggalan serius. Ia menilai, jika data tersebut benar adanya, maka jelas cacat hukum.
“Mutasi tidak boleh dilakukan atas dasar kepentingan politik, apalagi berdasarkan kedekatan dengan kubu tertentu. Mutasi harus mengacu pada kompetensi melalui mekanisme jobfit yang sah. Kalau data itu benar, jelas itu pelanggaran,” tegas Syarahuddin, Minggu (24/8/2025).
Lebih jauh, ia menekankan bahwa dokumen mutasi tidak semestinya beredar sebelum proses jobfit dilaksanakan dan rekomendasi resmi dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) turun. “Kalau sudah ada nama yang dilingkari, lalu dicoret hanya karena dianggap ‘orang lama’, itu jelas memperlihatkan birokrasi dijadikan alat politik. Sangat berbahaya,” tambahnya.
Syarahuddin yang juga Direktur Firma Hukum SSA Al-Wahid menegaskan, Bupati Jombang harus berhati-hati dalam mengambil keputusan. Ia mengingatkan bahwa mutasi yang salah langkah bisa menimbulkan masalah hukum hingga resistensi masyarakat.
“Mutasi itu ranah profesional, bukan panggung politik. Jika bupati berani melangkah di luar aturan, konsekuensi hukumnya bisa panjang. Jangan lupa, publik sekarang kritis, banyak tokoh masyarakat, akademisi, bahkan ulama yang ikut mengawasi,” ujarnya.
Ia pun mengaku siap mendukung mutasi apabila dilakukan sesuai regulasi, namun akan tetap bersuara keras jika melihat penyimpangan. “Kami tidak anti-mutasi. Tapi kami menolak jika mutasi hanya dijadikan alat untuk balas budi politik,” tegasnya.
Selain itu, Syarahuddin juga menyayangkan apabila manajemen RSUD Jombang yang selama ini dinilai cukup baik justru dikacaukan demi kepentingan segelintir pihak.
“RSUD Jombang sudah banyak berbenah, mulai dari pelayanan, fasilitas, hingga pencapaian kinerja. Jangan sampai semua prestasi itu hancur hanya karena kepentingan politik jangka pendek,” ungkapnya.
Menurutnya, jika mutasi dilakukan secara serampangan, bukan hanya kredibilitas birokrasi yang rusak, tapi juga kualitas layanan publik akan terdampak. “Yang rugi bukan hanya pegawai, tapi masyarakat luas. Karena rumah sakit itu urusannya nyawa manusia,” tandasnya.
Berdasarkan data resmi, Pemkab Jombang memang sedang menghadapi persoalan serius soal kekosongan jabatan struktural. Per 1 Mei 2025, tercatat ada 79 posisi struktural eselon II, III, dan IV yang belum terisi, dan jumlah tersebut diperkirakan masih akan bertambah.
Pemkab berdalih bahwa mutasi diperlukan untuk mengisi kekosongan tersebut. Namun, bocornya data internal yang memuat catatan politik di balik nama-nama pejabat membuat publik kian curiga bahwa proses mutasi kali ini tidak sepenuhnya murni demi kebutuhan organisasi.(lil)