Tiang Fiber Star Berdiri di Jalan A. Yani, Desa Sentul Barat, Tembelang Jombang, Diduga Tanpa Izin Resmi.

JOMBANG,Liputan11.com – Maraknya pemasangan jaringan kabel fiber optik di Kabupaten Jombang mulai menuai sorotan tajam. Pemerintah Kabupaten memang tengah gencar melakukan penertiban, namun di lapangan justru muncul dugaan praktik pemasangan yang tidak memenuhi aturan. Salah satunya terjadi di Jalan A. Yani, Desa Sentul Barat, Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang, di mana sejumlah tiang fiber milik Fiber Star tampak berdiri tanpa kejelasan izin resmi.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, perusahaan penyedia jaringan tersebut diduga belum mengantongi rekomendasi teknis dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Jombang. Selain itu, persyaratan administratif berupa deposit perawatan selama satu tahun yang menjadi kewajiban perusahaan kepada Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda), disebut-sebut juga tidak terpenuhi. Jika benar demikian, maka pemasangan ini jelas melanggar aturan yang berlaku.

Seorang narasumber yang memahami mekanisme perizinan, namun meminta identitasnya tidak dipublikasikan, menegaskan bahwa pemasangan tiang fiber tanpa rekomendasi teknis dari PUPR merupakan pelanggaran serius.
“Kalau tiang sudah berdiri di jalan kabupaten, itu masuk domain PUPR. Harus ada rekom teknis, harus ada deposit di Dispenda. Kalau tidak ada, ya otomatis ilegal. Ini bisa merugikan daerah sekaligus masyarakat,” ungkapnya.

Kepala Desa Sentul, Misbahkhul Arifin, saat dikonfirmasi pada Kamis (25/9/2025) tidak menampik keberadaan tiang fiber tersebut. Ia menyebutkan, di wilayah desa memang ada pemasangan tiang, namun secara prinsip tidak masalah jika berada di jalan lingkungan. Berbeda halnya dengan pemasangan di jalan kabupaten yang menurutnya wajib melalui izin resmi.

“Kalau di jalan desa kami tidak mempermasalahkan. Tapi kalau sudah masuk jalan kabupaten, tentu harus ada dasar izinnya. Saya sudah tanyakan ke pihak lapangan, katanya sih sudah ada izin. Tapi buktinya sampai sekarang tidak pernah ditunjukkan ke saya,” terang Misbahkhul dengan nada ragu.

Lebih lanjut, awak media mencoba mengonfirmasi hal ini kepada Agung Setiadji, Kepala Bidang Bina Marga PUPR Kabupaten Jombang, serta beberapa stafnya. Namun hingga berita ini diterbitkan, tidak ada jawaban maupun klarifikasi resmi dari pihak PUPR. Padahal, sesuai kewenangannya, perizinan pemasangan utilitas seperti tiang fiber di jalan kabupaten sepenuhnya menjadi tanggung jawab PUPR.

Sikap bungkam ini semakin menimbulkan spekulasi di masyarakat. Ada dugaan, ketidakjelasan izin tersebut sengaja dibiarkan atau bahkan berpotensi terjadi “pembiaran sistematis” demi keuntungan pihak tertentu. Kondisi ini tentu sangat disayangkan, mengingat Jombang sedang gencar mendorong keteraturan tata ruang dan infrastruktur.

Persoalan pemasangan tiang fiber tanpa izin bukan sekadar soal administrasi. Jika dibiarkan, ada sejumlah dampak yang bisa timbul. Pertama, secara tata ruang, keberadaan tiang yang tidak teratur dapat merusak estetika kota sekaligus mengganggu pembangunan trotoar dan drainase yang sudah menelan anggaran miliaran rupiah. Kedua, dari aspek keselamatan, tiang yang berdiri tanpa standar teknis rawan membahayakan pengguna jalan, baik pejalan kaki maupun kendaraan bermotor.

Selain itu, dari sisi keuangan daerah, hilangnya kewajiban penyetoran deposit dan retribusi jelas merugikan pendapatan asli daerah (PAD). Padahal, dana tersebut seharusnya bisa digunakan kembali untuk perawatan jalan dan infrastruktur lainnya.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah Pemkab Jombang benar-benar serius melakukan penertiban, atau sekadar menjadikannya jargon? Publik kini menunggu sikap tegas dari PUPR dan Dispenda untuk memberikan klarifikasi terbuka terkait legalitas tiang fiber di Sentul. Transparansi adalah kunci, agar tidak muncul kesan bahwa aturan hanya ditegakkan kepada pihak tertentu sementara yang lain dibiarkan bebas beroperasi.

Jika ketegasan tidak segera ditunjukkan, dikhawatirkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah akan semakin luntur. Penertiban yang mestinya menjadi langkah memperbaiki tata kelola justru bisa berubah menjadi panggung inkonsistensi dan dugaan praktik “tebang pilih” dalam penegakan aturan. Bersambung.. (lil)

Share.

Comments are closed.